SELAMAT DATANG DI MY BLOG

ASSALAMU'ALAIKUM WRWB
REKAN-REKAN GURU MGMP IPA SMP CLUSTER D KARAWANG SILAKAN BERGABUNG DAN MENG-UPDATE MY BLOG
SEMOGA BERMANFAAT
WASSSALAMU'ALAIKUM WRWB

KEGIATAN LESSON STUDY BERBASIS MGMP MERUPAKAN SALAH SATU KEGIATAN LESSON STUDY YANG DILAKSANAKAN DI KABUPATEN KARAWANG, SALAH SATU MGMP YANG MENGIKUTI ADALAH MGMP IPA SMP CLUSTER D KABUPATEN KARAWANG YANG BERCENTER DI SMP NEGERI 2 KARAWANG TIMUR

Kamis, 07 Oktober 2010

LAPORAN KEGIATAN LS MGMP CLUSTER D TAHUN 2010

LAPORAN KEGIATAN LESSON STUDY MGMP
CENTER D
KABUPATEN KARAWANG
TAHUN 2010

A. KEHADIRAN PESERTA
Kehadiran peserta, baik pada mata pelajaran Matematika dan IPA antara 80-90%. Hal ini dikarenakan sebagai berikut :
1. Ada beberapa peserta yang mengikuti pendidikan S1
2. Tidak adanya undangan kegiatan, mengingat undangan diperlukan untuk SPPD
3. Jarak antara tempat kegiatan dengan tempat sekolah jauh, ini terjadi saat kegiatan Open Class.

B. PROGRAM KEGIATAN
1. Plan
Pada kegiatan ini peserta bersama-sama :
a. memilih guru model
b. merumuskan RPP yang akan dipakai untuk Open Class
c. membuat LKS, Lembar observasi dll

2. Do
Pada kegiatan ini para peserta belajar pada pembelajaran yang disampaikan oleh guru model dan mengamati aktivitas siswa selam pembelajaran

3. See
Pada kegiatan ini para peserta menyampaikan hasil observasi/pengamatan aktivitas siswa selama pembelajaran dan menyampaikan hikmah yang bisa dipetik untuk perbaikan pembelajaran bagi setiap peserta.

C. KENDALA
1. Peserta mengalami stagnasi kegiatan, ada rasa bosan/boring, sehingga pada kegiatan Open Class observer mengalami rasa malas, mengantuk, keluar masuk kelas dll.
2. Pada kegiatan Plan, para peserta kurang memberikan gagasan/masukan, sehingga banyak pemikiran didominasi oleh guru model.
3. Pada pembuatan LKS kurang menyentuh pada aktivitas berpikir siswa.
4. Local material tidak banyak digunakan.

D. SARAN-SARAN
1. Mohon kepada fasilitator banyak memberikan hal-hal yang menjadi issue-isue baru dalam pendidikan.
2. Sharing dari fasilitator dalam pembuatan penelitian atau karya tulis

Karawang, Mei 2010
Fasilitator MGMP Center D
PELAKSANAAN
LESSON STUDY BERBASIS SEKOLAH
(LSBS)
DI SMP NEGERI 2 KARAWANG TIMUR

Oleh :
H. DEDENG HUZAENI, M.Pd, Kepala SMP Negeri 2 Karawang Timur

Abstract
The Government always made efforts to improve the quality of teachers through training, but less significant impact on improving the quality of teachers. Models in-service training that is more focused on teacher empowerment and capacity according to the problems faced by each teacher is the lesson study is a model of professional development of educators through collaborative learning and assessment based on the principles of sustainable kolegalitas and mutual learning to build a learning community . Efforts to improve the professionalism of teachers in Junior High School that led to two East Donegal increase student learning outcomes, developed by implementing the School-Based Lesson Study (LSBS), so that all teachers can participate Lesson Study program. Impact of the implementation of service quality LSBS more meaningful and enjoyable learning for students within the framework of achieving national education standards.
Keywords: Lesson Study, teachers' professionalism, LSBS

A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, pada tahun 2005 pemerintah dan DPR RI telah mensahkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru agar guru menjadi profesional. Sebagai konsekuensinya pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pemerintah selalu melakukan usaha peningkatan mutu guru melalui pelatihan dan tidak sedikit dana yang dialokasikan untuk pelatihan guru. Sayangnya usaha dari pemerintah ini kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan mutu guru. Ada dua hal yang menyebabkan pelatihan guru belum berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, yaitu :
Pertama, pelatihan tidak berbasis pada permasalahan nyata di dalam kelas. Materi pelatihan yang sama disampaikan kepada semua guru tanpa mengenal daerah asal. Padahal kondisi sekolah di suatu daerah belum tentu sama dengan sekolah di daerah lain. Kadang-kadang pelatih menggunakan sumber dari literatur asing tanpa melakukan ujicoba terlebih dahulu untuk kondisi di Indonesia.
Kedua, hasil pelatihan hanya menjadi pengetahuan saja, tidak diterapkan pada pembelajaran di kelas atau kalaupun diterapkan hanya sekali, dua kali dan selanjutnya kembali “seperti dulu lagi, back to basic”. Hal ini disebabkan tidak ada kegiatan monitoring pasca pelatihan, apalagi kalau kepala sekolah tidak pernah menanyakan hasil pelatihan. Selain itu, kepala sekolah tidak memfasilitasi forum sharing pengalaman diantara guru-guru.
Untuk mengatasi kelemahan pelatihan konvensional yang kurang menekankan pada pasca pelatihan maka diperlukan alternatif model in-service training yang lebih berfokus pada upaya pemberdayaan guru sesuai kapasitas serta permasalahan yang dihadapi masing-masing. Hal ini penting untuk meningkatkan kinerja guru dan profesionalitasnya.
Model tersebut adalah Lesson Study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lesson Study bukan metoda atau strategi pembelajaran tetapi kegiatan Lesson Study dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru.

B. Permasalahan
SMP Negeri 2 Karawang Timur merupakan salah satu sekolah yang terletak di pusat pemerintahan Kabupaten Karawang. Proses pembelajaran dalam kelas yang terjadi belum optimal, karena guru masih mendominasi pembelajaran (teacher centre). Siswa belum mendapatkan pelayanan yang optimal dalam belajar, masyarakat belajar (komunitas belajar) belum terlihat, yang terjadi siswa yang pintar menjadi tempat contekan bagi teman-teman lainnya. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah belum terciptanya budaya sekolah, seperti sekolah bersih, siswa yang berahlak mulia, rendahnya hasil belajar dan kurangnya kreativitas guru dan siswa. Selain itu sekolah belum memiliki alat dokumentasi pembelajaran karena dana pendukung operasional sekolah (BOS) kurang memadai.

C. Strategi Pemecahan Masalah
Untuk meningkatkan kompetensi profesionalisme guru di SMP Negeri 2 Karawang Timur yang berujung peningkatan hasil belajar siswa, penulis membuat terobosan dalam rangka mencari format pelatihan yang cocok untuk guru guna meningkatkan kompetensinya. Pada tanggal 16 November 2007 penulis bersama salah seorang guru IPA mengikuti Diseminasi Forum MGMP untuk Program Strengthening in Service Teacher Training of Mathematies and Science Education at Junior di Kabupaten Sumedang.
Setelah mengikuti kegiatan tersebut Pemerintah Kabupaten Karawang dalam hal ini Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Karawng difasilitasi FPMIPA UPI Bandung mengadakan kesepakatan dengan Sampoerna Foundation dalam rangka peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu guru di Kabupaten Karawang dengan kegiatan Pelatihan Lesson Study berbasis MGMP untuk mata pelajaran Matematika dan IPA.
Dari hasil program tersebut, ada kesadaran dari guru-guru Matematika dan IPA bahwa kegiatan Lesson Study dapat dikembangkan di sekolah dengan melaksanakan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS), sehingga semua guru dapat ikut serta mengikuti program Lesson Study. Oleh karena itu, penulis membuat proposal untuk program tersebut.
Berdasarkan kajian, proposal diterima oleh Sampoerna Foundation dan bekerja sama dengan Dosen-dosen FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), maka SMP Negeri 2 Karawang Timur mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan Lesson Study Berbasis Sekolah.
Secara umum program LSBS SMP Negeri 2 Karawang Timur bertujuan memberdayakan warga sekolah (guru dan siswa) untuk meningkatkan mutu pembelajaran sesuai dengan strandar pelayanan minimal dalam kerangka penjaminan mutu pendidikan nasional.

Secara khusus program LSBS SMP Negeri 2 Karawang Timur bertujuan:
1. Meningkatkan kompetensi guru, melalui aktivitas Lesson Study;
2. Memberdayakan semua guru mata pelajaran;
3. Memetakan masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru (plam);
4. Memecahkan masalah pembelajaran yang dihadapi melalui sharing atau tukar pengalaman dan belajar dari pembelajaran guru yang bertindak sebagai guru model (do) melalui kegiatan refleksi (see); dan
5. Terciptanya budaya sekolah (prestasi belajar, bersih dan berahlak mulia)

Sasaran kegiatan LSBS ini adalah seluruh guru mata pelajaran yang berjumlah 40 orang untuk mengikuti kegiatan ini, dengan harapan :
1. Kegiatan Lesson Study dapat dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan;
2. Kinerja semua guru mata pelajaran dapat lebih meningkat;
3. Kompetensi professional guru dapat lebih meningkat;
4. Lulusan (hasil didik) berkualitas dan berdaya saing tinggi; dan
5. Tercipta budaya sekolah (prestasi belajar, bersih dan berahlak mulia).

Dengan terlaksananya kegiatan LSBS manfaat bagi :
1. Siswa :
a. Terbuka peluang untuk mengikuti pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan; dan
b. Terjaminnya hak belajar.

2. Guru :
a. Terbuka peluang untuk meningkat kompetensi sesuai dengan standar nasional pendidikan; dan
b. Dapat melaksanakan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa.
3. Sekolah :
a. Terbukanya kesempatan untuk memiliki guru-guru yang kompeten dan profesional, serta mampu meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan; dan
b. Terwujudnya budaya sekolah (prestasi belajar, bersih dan berahlak mulia).

D. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah
Kegiatan Lesson Study dipilih untuk memecahkan masalah berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
1. Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.
2. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat menerapkan berbagai metoda/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru.
3. Pada kegiatan Lesson Study, terjadi sharing pengalaman dalam pembelajaran antara guru yang satu dengan guru yang lain Mereka berbagi pengalaman dan saling belajar sehingga melalui kegiatan pertemuan dalam rangka Lesson Study ini terbentuk mutual learning (saling belajar).

E. Tahapan Kegiatan Lesson Study Berbasis Sekolah
Kegiatan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS), sebagaimana kegiatan Lesson Study pada umumnya dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu Plan(merencanakan), Do (melaksanakan), dan See (merefleksi) yang berkelanjutan. Dengan kata lain Lesson Study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tak pernah berakhir (continous improvement). Skema atau siklus dari pelaksanaan kegiatan Lesson Study dapat digambarkan sebagai berikut :






nnnS
Gambar 1 : Skema / Siklus Lesson Study

1. Tahap Perencanaan (Plan) D
Lesson Study dimulai dari tahap perencanaan (Plan) yang bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa dan berpusat pada siswa, serta bagaimana supaya siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Perencanaan diawali dari analisis permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, antara lain :
a. berupa materi bidang studi, bagaimana menjelaskan suatu konsep;
b. berupa pedagogi tentang metoda pembelajaran yang tepat agar pembelajaran lebih efektif dan efisien; dan
c. permasalahan fasilitas, bagaimana mensiasati kekurangan fasilitas pembelajaran.
Selanjutnya guru secara bersama-sama mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi yang dituangkan dalam rancangan pembelajaran atau lesson plan, teaching materials berupa media pembelajaran dan lembar kerja siswa serta metoda evaluasi. Teaching materials yang telah dirancang perlu diujicoba sebelum diterapkan di dalam kelas. Kemudian ditunjuk seorang guru untuk menjadi guru model yang mengimplementasikan perencanaan (plan) yang telah dilakukan. Melalui kegiatan pertemuan dalam rangka Lesson Study ini terbentuk mutual learning (saling belajar).

2. Tahap Pelaksanaan (Do)
Langkah kedua dalam Lesson Study adalah pelaksanaan (Do) pembelajaran untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam perencanaan. Kepala sekolah terlibat dalam pengamatan pembelajaran dan memandu kegiatan ini. Sebelum pembelajaran dimulai sebaiknya dilakukan briefieng kepada para pengamat untuk menginformasikan kegiatan pembelajaran yang direncanakan oleh seorang guru dan mengingatkan bahwa selama pembelajaran berlangsung pengamat tidak mengganggu kegiatan pembelajaran tetapi mengamati aktivitas siswa selama pembelajaran. Fokus pengamatan ditujukan pada interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, dan siswa-lingkungan yang terkait dengan 4 kompetensi guru sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Lembar observasi pembelajaran perlu dimiliki oleh para pengamat sebelum pembelajaran dimulai. Para pengamat dipersilahkan mengambil tempat di ruang kelas yang memungkinkan dapat mengamati aktivitas siswa. Biasanya para pengamat berdiri di sisi kiri dan kanan di dalam ruang kelas agar aktivitas siswa teramati dengan baik. Selama pembelajaran berlangsung para pengamat tidak boleh berbicara dengan sesama pengamat dan tidak menganggu aktifitas dan konsentrasi siswa. Para pengamat dapat melakukan perekaman kegiatan pembelajaran melalui video camera atau foto digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan studi lebih lanjut. Keberadaan para pengamat di dalam ruang kelas disamping mengumpulkan informasi juga dimaksudkan untuk belajar dari pembelajaran yang sedang berlangsung dan bukan untuk mengevaluasi guru.
3. Tahap Refleksi (See)
Langkah ketiga dalam kegiatan Lesson Study adalah refleksi (See). Setelah selesai pembelajaran langsung dilakukan diskusi antara guru dan pengamat yang dipandu oleh kepala sekolah atau personel yang ditunjuk untuk membahas pembelajaran yang telah dilaksanakan. Guru model mengawali diskusi dengan menyampaikan kesan-kesan dalam melaksanakan pembelajaran. Selanjutnya pengamat diminta menyampaikan komentar dan lesson learnt dari pembelajaran terutama berkenaan dengan aktivitas siswa. Tentunya, kritik dan saran untuk guru disampaikan secara bijak demi perbaikan pembelajaran. Sebaliknya, guru model harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan masukan dari diskusi ini dapat dirancang kembali pembelajaran berikutnya. Pada prinsipnya, semua orang yang terlibat dalam kegiatan Lesson Study harus memperoleh lesson learnt dengan demikian kita membangun komunitas belajar melalui Lesson Study.

4. Rencana Kegiatan LSBS SMP Negeri 2 Karawang Timur
Kegiatan LSBS di SMP Negeri 2 Karawang Timur dilaksanakan dalam 5 kali pertemuan, tiap pertemuan dilaksanakan Do dan See oleh 2 orang guru model. Sedangkan Plan dilaksanakan oleh guru model bersama rekan-rekan guru dalam satu mata pelajaran (MGMP Sekolah). Berikut ini tabel Jadwal Pelaksanaan LSBS di SMPN 2 Karawang Timur.
NO. HARI, TANGGAL KEGIATAN NAMA GURU MATA PELAJARAN
1 Sabtu,
30 Januari 2010 (Do + See) 1 WIDYA NOVIANTI, S.Pd IPA
(Do + See ) 2 INA SOFIANA, S.Pd TIK
2 Sabtu,
13 Februari 2010 (Do + See) 1 ASIH MURNIASARI, S.Pd BHS. INDONESIA
(Do + See ) 2 HAPID HAPILDAN, S.Pd MATEMATIKA
3 Sabtu,
27 Februari 2010 (Do + See) 1 OCIM SENI BUDAYA
(Do + See ) 2 IMAS BHS. INGGRIS
4 Sabtu,
13 Maret 2010 (Do + See) 1 NENTI PERMASIH, S.Pd PLH
(Do + See ) 2 EVI NURHAYATI IPS
5 Sabtu,
10 April 2010 (Do + See) 1 JEJEN JALALUDIN, S.SoS.I PAI
(Do + See ) 2 LISMAWATI SUPARTA, SE BHS. SUNDA
Tabel 1. Jadwal Pertemuan LSBS SMPN 2 Karawang Timur

F. Hasil dan Dampak LSBS
Hasil kegiatan LSBS di SMPN 2 Karawang Timur antara lain :
1. Guru memperoleh kesempatan untuk melakukan identifikasi masalah pembelajaran, mengkaji pengalaman pembelajaran yang biasa dilakukan, memilih alternatif model pembelajaran yang akan digunakan, merancang rencana pembelajaran, mengkaji kelebihan dan kekurangan alternatif model pembelajaran yang dipilih, melaksanakan pembelajaran, mengobservasi proses pembelajaran, mengidentifikasi hal-hal penting yang terjadi dalam aktivitas belajar siswa di kelas, melakukan refleksi secara bersama-sama atas hasil observasi kelas, dan mengambil pelajaran berharga dari setiap proses yang dilakukan untuk kepentingan peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran lainnya.
2 RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang dapat digunakan untuk pembelajaran.
3. Dalam pelaksanaan LSBS, siswa memperoleh pelayanan yang bermutu, bermakna dan menyenangkan dalam pelaksanaan KBM, karena pembelajaran berpusat pada siswa, maka apa yang akan dipersiapkan oleh guru model hakekatnya ingin memberikan pengalaman belajar pada siswa yang nantinya dapat bermanfaat baginya dikemudian hari.
4. Meningkatnya rata-rata nilai hasil Ujian Nasional Siswa, sebagaimana grafik berikut ini :


Dampak yang terlihat dari pelaksanaan LSBS di SMP Negeri 2 Karawang Timur adalah :
1. Mutu layanan pembelajaran lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa dalam kerangka pencapaian standar nasional pendidikan dan pengembangan potensi diri agar memiliki keunggulan;
2. Sekolah lebih termotivasi untuk membangun komunitas profesional dan mengembangkan budaya sekolah yang berkelanjutan; dan
3. Sekolah mampu membangun sistem belajar bagi warga sekolah untuk mengembangkan profesionalisme secara mandiri dalam bidang masing-masing.


G. Kendala-kendala
Dalam pelaksanaan kegiatan LSBS di SMPN 2 Karawang Timur, terdapat beberapa kendala antara lain disajikan pada tabel 2. sebagai berkut :
No. Kendala Solusi
1 Untuk menjadi Guru Model guru masih bingung apa saja yang harus dipersiapkan. - Membuat perencanaan dengan rekan guru yang mengampu mata pelajaran yang sama.
- Bersama-sama rekan guru, misal dalam pembelajaran IPA, maka dibuat local material, yang dapat digunakan.
- Mengajukan kepada Kepala Sekolah untuk pengadaan alat, apabila ada alat yang perlukan tidak ada.
2 Guru yang bertindak sebagai observer, masih terlihat mengganggu konsentrasi siswa belajar, misal mengobrol dengan guru lain, lupa mematikan HP. Secara persuasif diberitahu tentang hal-hal yang boleh dilakukan dalam kelas, saat berlangsung Open Class.
3 Jumlah siswa dalam satu kelas antara 40-50 siswa Mengatur setting kelas, sehingga nyaman untuk belajar
4 Bingung dalam memilih metode pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dan materi pelajaran Bersama dengan rekan guru pada mata pelajara yang sama melakukan pengkajian dan berkonsultasi dengan dosen (fasilitator dari FPMIPA UPI)
Tabel 2. Kendala dan Solusi Kegiatan LSBS di SMPN 2 Karawang Timur
H. Faktor Pendukung
Hal-hal berikut ini merupakan faktor-faktor pendukung berlangsungnya kegiatan LSBS di SMP Negeri 2 Karawang Timur, antara lain:
1. Semangat dan antusias seluruh guru dalam melaksanakan kegiatan LSBS, hal ini terbukti bahwa guru model dalam setiap kali pelaksanaan Open Class (Do dan See) berjumlah 2 (dua) orang. Padahal pihak Fasilitator dari FPMIPA UPI dalam SOP (standar opersional prosedur) telah menetapkan hanya 1 (satu) orang guru model setiap kali pelaksanaan Open Class.
2. Semua guru berpartisipasi secara aktif dalam mendukung rekan guru yang menjadi guru model.
3. Para siswa merasa senang, karena kelasnya menjadi tempat pelaksanaan Open Class.

I. Kesimpulan
Hasil refleksi pada kegiatan Lesson Study diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran.
Pada tataran individual berbagai temuan dan masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi (check) tentunya menjadi modal bagi para guru, baik yang bertindak sebagai pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih baik.
Sedangkan pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai peserta Lesson Study, akan diperoleh sejumlah masukan yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya secara keseluruhan. Maka dengan lebih memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh guru dan siswanya dalam proses pembelajaran, diharapkan kepala sekolah dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.
Melalui LSBS, sekolah dapat melaksanakan reformasi sekolah dengan dukungan semua pihak sehingga tercipta budaya sekolah yang diharapkan.

J. Rekomendasi
Ke depan agar ada kelanjutan program (sustainability) maka pelaksanaan LSBS diharapkan dapat :
1. meningkatkan profesionalitas dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah, dengan memanfaatkan hasil temuan dalam pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan refleksinya yang dilakukan oleh baik guru model maupun guru yang bertindak sebagai observer.
2. mengembangkan secara kolabolator dengan rekan-rekan guru SD maupun guru SMA di sekitar sekolah.






Daftar Pustaka
Indonesia (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Indonesia (2005). Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.
Lesson Study (Suatu Strategi untuk Meningkatkan Keprofesionalan Pendidik) (Pengalaman IMSTEP – JICA)) diterbitkan oleh UPI PRESS, 2006.































LAMPIRAN

RPP
LKS
FOTO DOKUMENTASI KEGIATAN

Minggu, 26 September 2010

Penyusunan RPP Berdasarkan Permendiknas No. 41 Tahun 2007

Penyusunan RPP Berdasarkan Permendiknas No. 41 Tahun 2007
(DEDDY WIDJANARDI, S.Pd)

A. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 Pasal 20 dinyatakan bahwa: ”Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”.
Sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses dijelaskan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
B. Komponen RPP
RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.
Komponen RPP adalah:
1. Identitas mata pelajaran, meliputi:
a. satuan pendidikan,
b. kelas,
c. semester,
d. program studi,
e. mata pela¬jaran atau tema pelajaran,
f. jumlah pertemuan.
2. Standar kompetensi; merupakan kualifikasi kemam¬puan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.
3. Kompetensi dasar; adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran ter¬tentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompe¬tensi dalam suatu pelajaran.
4. Indikator pencapaian kompetensi; adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilai¬an mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja opera¬sional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. Tujuan pembelajaran; menggambarkan proses dan ha¬sil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.
6. Materi ajar; memuat fakta, konsep, prinsip, dan pro¬sedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompe¬tensi.
7. Alokasi waktu; ditentukan sesuai dengan keperluan un¬tuk pencapaian KD dan beban belajar.
8. Metode pembelajaran; digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela¬jaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemi¬lihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situ¬asi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran.
9. Kegiatan pembelajaran; Untuk mencapai suatu kompetensi dasar harus dicantumkan langkah-langkah kegiatan setiap pertemuan. Pada dasarnya, langkah-langkah kegiatan memuat unsur kegiatan sebagai berikut :
a. pendahuluan/pembuka;
b. kegiatan inti terdiri atas, eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi; dan
c. kegiatan penutup.
10. Penilaian hasil belajar; yaitu prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kom¬petensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.
11. Sumber belajar; Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
C. Langkah-Langkah Penyusunan RPP
Langkah-langkah minimal dari penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dimulai dari mencantumkan Identitas RPP, Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran, Sumber Belajar, dan Penilaian. Setiap komponen mempunyai arah pengembangan masing-masing, namun semua merupakan suatu kesatuan.
Penjelasan tiap-tiap komponen adalah sebagai berikut:

1. Mencantumkan Identitas
Terdiri dari: Nama sekolah, Mata Pelajaran, Kelas, Semester, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator dan Alokasi Waktu.
Hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. RPP boleh disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
b. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator dikutip dari silabus. (Standar kompetensi – Kompetensi Dasar – Indikator adalah suatu alur pikir yang saling terkait tidak dapat dipisahkan)
c. Indikator merupakan:
 ciri perilaku (bukti terukur) yang dapat memberikan gambaran bahwa peserta didik telah mencapai kompetensi dasar;
 penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
 dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, satuan pendidikan, dan potensi daerah;
 rumusannya menggunakan kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi; dan
 digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.

d. Alokasi waktu; diperhitungkan untuk pencapaian satu kompetensi dasar, dinyatakan dalam jam pelajaran dan banyaknya pertemuan (contoh: 2 x 35/40/45 menit). Karena itu, waktu untuk mencapai suatu kompetensi dasar dapat diperhitungkan dalam satu atau beberapa kali pertemuan bergantung pada kompetensi dasarnya.

2. Merumuskan Tujuan Pembelajaran; Output (hasil langsung) dari satu paket kegiatan pembelajaran.
Sebagai contoh :Kegiatan pembelajaran: ”Mendapat informasi tentang sistem peredaran darah pada manusia”.
Maka tujuan pembelajaran, boleh salah satu atau keseluruhan tujuan pembelajaran, misalnya peserta didik dapat:
1. mendeskripsikan mekanisme peredaran darah pada manusia;
2. menyebutkan bagian-bagian jantung;
3. merespon dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman sekelasnya; dan
4. mengulang kembali informasi tentang peredaran darah yang telah disampaikan oleh guru.

Bila pembelajaran dilakukan lebih dari 1 (satu) pertemuan, ada baiknya tujuan pembelajaran juga dibedakan menurut waktu pertemuan, sehingga tiap pertemuan dapat memberikan hasil

3. Menentukan Materi Pembelajaran; untuk memudahkan penetapan materi pembelajaran, dapat diacu dari indikator.
Contoh:
Indikator: Peserta didik dapat menyebutkan ciri-ciri kehidupan.
Materi pembelajaran:
Ciri-Ciri Kehidupan: Nutrisi, bergerak, bereproduksi, transportasi, regulasi, iritabilitas, bernapas, dan ekskresi.

4. Menentukan Metode Pembelajaran
Metode dapat diartikan benar-benar sebagai metode, tetapi dapat pula diartikan sebagai model atau pendekatan pembelajaran, bergantung pada karakteristik pendekatan dan/atau strategi yang dipilih. Karena itu pada bagian ini cantumkan pendekatan pembelajaran dan metode yang diintegrasikan dalam satu kegiatan pembelajaran peserta didik:
a. Pendekatan pembelajaran yang digunakan, misalnya: pendekatan proses, kontekstual, pembelajaran langsung, pemecahan masalah, dan sebagainya.
b. Metode-metode yang digunakan, misalnya: ceramah, inkuiri, observasi, tanya jawab, kooperativ learning, e-learning dan sebagainya.

5. Menetapkan Kegiatan Pembelajaran
Langkah-langkah minimal yang harus dipenuhi pada setiap unsur kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan pendahuluan. (10% dari Total Alokasi Waktu )
Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
 menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
 mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
 menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan
 menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai dengan silabus.

b. Kegiatan inti (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi). (75% dari Total Alokasi Waktu)
Dalam kegiatan inti guru melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran sebagai berikut:

EKSPLORASI; Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
 melibatkan siswa mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;
 menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain;
 memfasilitasi terjadinya interaksi antarsiswa serta antara siswa dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya;
 melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan
 memfasilitasi siswa melakukan percobaan di laboratorium, studio atau lapangan.

ELABORASI; Dalam kegiatan elaborasi, guru:
 membiasakan siswa membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna;
 memfasilitasi siswa melalui pemberian tugas, diskusi dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
 memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah dan bertindak tanpa rasa takut;
 memfasilitasi siswa dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;
 memfasilitasi siswa berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
 memfasilitasi siswa membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis secara individual maupun kelompok;
 memfasilitasi siswa untuk menyajikan hasil kerja secara individual maupun kelompok;
 memfasilitasi siswa melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; dan
 memfasilitasi siswa melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri siswa.

KONFIRMASI; Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
 memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa;
 memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi siswa melalui berbagai sumber;
 memfasilitasi siswa melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan;
 memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:
 berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan siswa yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
 membantu menyelesaikan masalah;
 memberi acuan agar siswa dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;
 memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan
 memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

c. Kegiatan Penutup; Dalam kegiatan penutup, guru:
 bersama-sama dengan siswa dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;
 melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;
 memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar siswa; dan
 menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Langkah-langkah pembelajaran dimungkinkan disusun dalam bentuk seluruh rangkaian kegiatan, sesuai dengan karakteristik model pembelajaran yang dipilih, menggunakan urutan sintaks sesuai dengan modelnya. Oleh karena itu, kegiatan pendahuluan/pembuka, kegiatan inti, dan kegiatan penutup tidak harus ada dalam setiap pertemuan.



6. Memilih Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar mengacu pada perumusan yang ada dalam silabus yang dikembangkan. Sumber belajar mencakup sumber rujukan, lingkungan, media, narasumber, alat dan bahan. Sumber belajar dituliskan secara lebih operasional, dan bisa langsung dinyatakan bahan ajar apa yang digunakan.
Misalnya, sumber belajar dalam silabus dituliskan buku referensi, dalam RPP harus dicantumkan bahan ajar yang sebenarnya. Jika menggunakan buku, maka harus ditulis judul buku teks tersebut, pengarang, dan halaman yang diacu. Jika menggunakan bahan ajar berbasis ICT, maka harus ditulis nama file, folder penyimpanan, dan bagian atau link file yang digunakan, atau alamat website yang digunakan sebagai acuan pembelajaran.

7. Menentukan Penilaian
Penilaian dijabarkan atas :
a. teknik penilaian;
b. bentuk instrument; dan
c. instrumen yang dipakai yang beris rubrik penilaian.


D. Format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
A. Identitas
Nama Sekolah : ……………………………..
Mata Pelajaran : ……………………………..
Kelas, Semester : ……………………………..
Standar Kompetensi : ……………………………..
Kompetensi Dasar : ……………………………..
Indikator : ……………………………..
Alokasi Waktu : ….. x … menit (… pertemuan)

B. Tujuan Pembelajaran
C. Materi Pembelajaran
D. Metode Pembelajaran
E. Kegiatan Pembelajaran
Langkah-langkah :
Pertemuan 1
§ Kegiatan Awal
§ Kegiatan Inti
§ Kegiatan Penutup
Pertemuan 2
§ Kegiatan Awal
§ Kegiatan Inti
§ Kegiatan Penutup
Pertemuan 3. Dst
F. Sumber Belajar ( Buku, Bahan ajar dan Alat )
G. Penilaian ( berisi teknik penilaian , Bentuk instrumen dan Rubriks penilaian

Kamis, 16 September 2010

TENTANG HIPNOTIS

Tentang Hipnosis
Posted on 29 Agustus 2010 by AKHMAD SUDRAJAT| 30 Komentar

Hipnosis berasal dari kata “hypnos”, nama dewa tidur orang Yunani Kuno. Kata “hypnosis” pertama kali diperkenalkan James Braid, seorang dokter dari Inggris (1795 – 1860).

Hipnotis

Menurut American Psychological Association bahwa hipnosis adalah a cooperative interaction in which the participants responds to the suggestions of the Hypnotist. Hipnosis merupakan salah satu teknik yang digunakan di lingkungan dunia psikologi dan medis untuk kepentingan terapi, terutama untuk mengurangi rasa sakit dan kecemasan. Seperti yang dilakukan Freud, penggagas utama aliran psikoanalisa, yang banyak menggunakan teknik hipnosis untuk kepentingan pengobatan kliennya

Saat ini di Indonesia hipnosis menjadi sangat populer, terutama setelah banyak digunakan untuk kepentingan hiburan, khususnya dalam atraksi sulap, sebagaimana sering kita saksikan dalam tayangan televisi, misalnya atraksi.yang diperagakan oleh Romy Rafael, Uya Kuya dan para pesulap lainnya. Belakangan ini hipnosis semakin banyak dibicarakan orang, yang seolah-olah dikaitkan dengan berbagai tindakan kejahatan.

Terkait dengan cara kerja hipsosis, menurut John Kihlstrom, “The hypnotist does not hypnotize the individual. Rather, the hypnotist serves as a sort of coach or tutor whose job is to help the person become hypnotized”. Dari pernyataan ini tampaknya cara kerja hipnosis sangat bergantung pada kesiapan dan kerelaan dari orang yang dihipnosisnya.

Setiap individu mempunyai pengalaman hipnosis yang beragam, beberapa orang mengatakan bahwa selama dalam kondisi terhipnosis mereka mengalami perasaan relaksasi yang ekstrim. Di satu sisi ada yang mengatakan bahwa ketika terhipnosis, segala tindakannya berada di luar kesadaran mereka, di lain pihak ada pula yang mengatakan bahwa mereka sepenuhnya tetap dalam keadaan sadar.

Hasil eksperimen yang dilakukan Ernest Hilgard terhadap dua kelompok yang terhipnosis dan tidak terhipnosis menunjukkan bahwa hipnosis dapat mengubah persepsi seseorang. Dalam eksperimen tersebut, kedua kelompok diminta untuk meletakkan tangan ke dalam air es yang dingin dalam waktu beberapa menit.. Ketika mengangkat kembali tangannya, kelompok yang tidak terhipnosis merasakan rasa sakit di tangannya, sementara mereka yang terhipnosis mampu mengangkat kembali tangannya dengan tanpa mengalami rasa sakit.

Sementara itu, pengalaman pribadi saya, ketika masih bertugas sebagai guru BK di sebuah SMA, saya pernah menangani kasus yang tergolong berat. Karena faktor keterbatasan kemampuan dan kewenangan saya sebagai Guru BK, saya menyarankan klien saya untuk berkonsultasi dengan psikolog. Rupanya saran saya pun ditanggapi dengan baik oleh klien saya dan kedua orang tuanya, Tak lama setelah berkonsultasi dengan psikolog, dia bercerita kepada saya bahwa dia mendapatkan terapi hipnosis dari psikolog yang bersangkutan. Dia mengalami perasaan yang jauh lebih lega dibandngkan sebelum mengikuti hipnosis. Namun dari apa yang dia ungkapkan dan dilihat dari raut mukanya, dia tampak seperti orang yang mengalami kelelahan. Boleh jadi, proses katarsis yang dialaminya melalui hipnosis telah cukup menguras energi psikisnya.

Berikut ini beberapa kegunaan dari aplikasi hipnosis dalam dunia medis:

* Treatment kondisi nyeri kronis, seperti pada rheumatoid arthritis.
* Treatment dan pengurangan sakit saat melahirkan.
* Pengurangan gejala demensia.
* Hipnoterapi gejala ADHD.
* Mengurangi rasa mual dan muntah pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi.
* Mengendalikan rasa sakit selama prosedur pengobatan gigi.
* Membatasi atau mengurangi kondisi kulit termasuk kutil dan psoriasis.
* Pengentasan gejala asosiasi dengan Irritable Bowel Syndrome .

Banyak orang berpikir bahwa mereka tidak dapat dihipnosis, namun hasil penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar orang ternyata dapat dihipnosis (hypnotizable).

* Lima belas persen orang sangat responsif terhadap hipnosis.
* Anak-anak cenderung lebih rentan terhadap hipnosis.
* Sekitar sepuluh persen orang dewasa dianggap sulit atau tidak mungkin untuk dihipnosis.
* Orang mudah berfantasi jauh lebih responsif terhadap hipnosis.

Beberapa Mitos tentang Hipnosis

Mitos 1: Bila Anda terbangun dari hipnosis, Anda tidak akan ingat apa-apa yang terjadi ketika Anda terhipnosis. Hipnosis memang memiliki dampak yang signifikan terhadap memori. Pasca-hipnosis dapat menyebabkan seseorang melupakan hal-hal tertentu yang terjadi sebelum atau selama hipnosis, namun efek ini sifatnya terbatas dan sementara.

Mitos 2: Hipnosis dapat membantu orang mengingat rincian pasti tentang kejahatan yang mereka saksikan. Hasil penelitian telah menemukan bukti bahwa hipnosis tidak mengarah kepada peningkatan memori yang signifikan atau ketepatan, dalam hipnosis sangat mungkin tergungkap hal yang tidak sebenarnya atau terjadi distorsi memori.. Oleh karena itu, data yang terungkap melalui hipnosis tidak bisa dijadikan sebagai bukti atau kesaksian atas suatu tindakan kejahatan.

Mitos 3: Anda dapat dihipnosis melawan kehendak Anda. Meskipun banyak diceritakan ada orang yang dihipnosis tanpa persetujuannya, tetapi sesungguhnya hipnosis membutuhkan partisipasi sukarela dari orang yang yang bersangkutan.

Mitos 4: Orang yang mengpnotis memiliki kontrol penuh terhadap tindakan Anda ketika Anda sedang dihipnosis. Orang yang menghipnosis tidak dapat membuat Anda melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai atau moral yang Anda yakini.

Mitos 5: Hipnosis dapat membuat Anda super-kuat atau hebat. Hipnosis memang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja/penampilan seseorang, tetapi tidak lantas membuat orang menjadi kuat atau hebat, di luar batas kemampuan fisik yang sebenarnya.

Sumber:

Tulisan ini merujuk dan dikembangkan dari : About com: Psychology. Kendra Cherry, What Is Hypnosis? Hypnosis Applications, Effects and Myths

Rabu, 15 September 2010

5 BENTUK BUDAYA GURU

5 Bentuk Budaya Guru
Posted on 12 Mei 2008 by AKHMAD SUDRAJAT| 10 Komentar
Budaya sekolah memiliki bentuk-bentuk budaya tertentu dan salah satunya adalah bentuk budaya guru yang menggambarkan tentang karakeristik pola-pola hubungan guru di sekolah. Hargreaves (1992) telah mengidentifikasi lima bentuk budaya guru, yaitu : Individualism, Balkanization, Contrived Collegiality, Collaboration, dan Moving Mosaic.
1. Individualism. Budaya dalam bentuk ini ditandai dengan adanya sebagian besar guru bekerja secara sendiri-sendiri (soliter), mereka menjadi tersisolasi dalam ruang kelasnya, dan hanya sedikit kolaborasi, sehingga kesempatan pengembangan profesi melalui diskusi atau sharing dengan yang lain menjadi sangat terbatas.
2. Balkanization. Bentuk budaya yang kedua ini ditandai dengan adanya sub-sub kelompok secara terpisah yang cenderung saling bersaing dan lebih mementingkan kelompoknya daripada mementingkan sekolah secara keseluruhan. Misalnya, hadirnya kelompok guru senior dan guru junior atau kelompok-kelompok guru berdasarkan mata pelajaran. Pada budaya ini, komunikasi jarang terjadi dan kurang adanya kesinambungan dalam memantau perkembangan perilaku siswa, bahkan cenderung mengabaikannya.
3. Contrived Collegiality. Bentuk budaya yang ketiga ini sudah terjadi kolaborasi yang ditentukan oleh manajemen, misalnya menentukan prosedur perencanaan bersama, konsultasi dan pengambilan keputusan, serta pandangan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Bentuk budaya ini sangat bermanfaat untuk masa-masa awal dalam membangun hubungan kolaboratif para guru. Kendati demikian, pada buaya ini belum bisa menjamin ketercapaian hasil, karena untuk membangun budaya kolaboratif memang tidak bisa melalui paksaan.
4. Collaboration. Pada budaya inilah guru dapat memilih secara bebas dan saling mendukung dengan didasari saling percaya dan keterbukaan. Dalam budaya kolaboratif terdapat saling keterpaduan (intermixing) antara kehidupan pribadi dengan tugas-tugas profesional, saling menghargai, dan adanya toleransi atas perbedaan.
5. Moving Mosaic. Pada model ini sekolah sudah menunjukkan karakteristik seperti apa yang disampaikan oleh Senge (1990) tentang “learning organisation”. Para guru sangat fleksibel dan adaptif, semua guru mengambil peran, bekerja secara kolaboratif dan reflektif, serta memiliki komitmen untuk melakukan perbaikan secara berkesinambungan.

BUDAYA ORGANISASI


Budaya Organisasi di Sekolah
Oleh : Akhmad Sudrajat, *))
A. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya Organisasi di SekolahPemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi.  Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”. Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai:
“A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems”.
Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“…setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu.”
Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dan (f) explaining and explainable : ideology and religion.
Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Tak Tampak ——————————————————————————-Sulit berubah
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh: para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh: para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak ——————————————————————————-Mudah berubah
Bagan 1. Budaya dalam Sebuah Organisasi
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.5)
Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif.
Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.
B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi.
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang.
C. Pengembangan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang pengembangan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa “the commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.
Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No
Nilai
Perilaku Dasar
1
Ilmu Pengetahuan
Berfikir
2
Ekonomi
Bekerja
3
Kesenian
Menikmati keindahan
4
Keagamaan
Memuja
5
Kemasyarakatan
Berbakti/berkorban
6
Politik/kenegaraan
Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
  1. Obeserved behavioral regularities budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
  2. Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian. Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup : (1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (2)Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan; (3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan; (4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global; (5) Berekspresi dan menghargai seni; (6) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani; (7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002). Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu : (1) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya; (2) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan; (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar; dan (4) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
  3. Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal. Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002). Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
  4. Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa : “pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put – proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
  5. Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning.
  6. Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “oorganizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the “atmosphere of the workplace” and people’s perceptions of “the way we do things here
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
D. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.
Daftar Pustaka
Alan Cowling & Philip James. 1996 .The Essence of Personnel Management and Industrial Relations (terj. Xavier Quentin Pranata). Yogyakarta: ANDI.
CarterMcNamara.“Organizational Culture” The Management Assistance Program for Nonprofits. (http://www.mapnp.org/library/orgthry/culture/culture.htm)
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,
Fred Luthan. 1995. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill,Inc.
Hay Group. 2003,. “Intervention: Managerial Style & Organizational Climate Assessment”. (http:// hayresourcesdirect. haygroup.com/ Misc/style_climate_intervention.asp.)
Jann E. Freed. et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education”. (http://www.ed.gov/databases/ERICDigests/ed406962.html).
Joan Gaustad. “School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/ digests/digest078.html). ERIC Digest 78. December 1992
John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo.
Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir,. 2000. Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issu, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
Larry Lashway. “Ethical Leadership”. ERIC Digest. Number 106. June 1996. (http://eric.uoregon.edu/publications/digests/digest107.html ).
Moh. Surya .1995.  Nilai-Nilai Kehidupan (makalah) . Kuningan : PGRI PD II Kuningan h. 3-8
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas,
Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership”. MIT Sloan Management Review. (http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html)
Stephen Stolp. Leadership for School Culture. ERIC Digest, Number 91. Tahun 1994 (http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ ed370198.html).
Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta : CV Rajawali.
Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,
Van Peursen. 1984. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Yayasan Kanisius,